Sejarah bangsa Sunda banyak tercatat pada berbagai naskah kuno. Adalah naskah Wangsakerta Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara yang mencatat, kerajaan Salakanagara diklaim sebagai Kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan yang melahirkan banyak Kerajaan di tatar Sunda.
Perjalanan Kerajaan-kerajaan di tatar Sunda terus berkembang hingga memantik datangnya berbagai bangsa dari belahan dunia. Bangsa Eropa tercatat pula sebagai bangsa yang bertandang ke tatar Sunda hingga banyak penulisnya yang mencatat berbagai kehidupan sosial, ekonomi, budaya hingga politik bangsa Sunda.
Bagaimana proses masuknya bangsa Eropa ke Nusantara khususnya ke tanah Jawa? Ternyata tidak semudah yang dikira. Pertama kali bangsa Eropa menjejakkan kakinya di tanah Jawa yaitu di Pelabuhan Banten pada abad 16. Saat dalam misi menjelajah dunia, bangsa Eropa dari Belanda berinteraksi dengan orang-orang pribumi yang masih berbudaya Sunda. Meski secara kepercayaan mereka sudah menganut agama Islam namun secara sosial dan budaya masih melekat kesundaannya.
Dalam dokumen pelayaran De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman (1595–1597), terdapat narasi mendetail yang mencerminkan dinamika interaksi awal tersebut. Analisis ini berfokus pada dimensi diplomasi, komunikasi budaya, ketegangan sosial, dan penilaian timbal balik antara kedua belah pihak.
Diplomasi dan Intrik Bangsa Eropa di Banten
Kedatangan de Houtman disambut baik meski secara protokoler oleh pejabat kesultanan Banten. Dijelaskan mengenai kedatangan armada Belanda yaitu menggunakan perahu kecil untuk menemui Gubernur.
“Capiteijn in onse roey-jacht hebbende den Gouverneur te ghemoeten, welck oock also geschiede, ende sonden een Balaon voor om zyne hoogheyt te veradverteren van onse comste…”
Bahkan saking protokolernya kesultanan ketika itu, seorang sahbandar pelabuhan Banten rela menjadi sandera. Tujuannya adalah untuk menjamin keselamatan rombongan pihak Belanda. Barang tentu agar diplomasi dapat berjalan lancar antara Belanda dengan kesultanan Banten.
“Den Sabandar aen de Sloepe gecomen, begeirende dat wy aen landt soude comen, presenterende zynen persoon in gyselinghe te blyven, dwelck hem gherefuseert worde…”
Interaksi ini menandakan bahwa proses diplomasi harus berjalan dengan baik tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Apalagi komunikasi bilateral ini menyangkut dengan para elite Banten dalam hal kemaritiman yang harus penuh kehati-hatian.
Tidak semua aspek dalam diplomasi akan berjalan dengan mulus. Sebelumnya di wilayah Banten tidak jauh dari Kerajaan Banten, terdapat ketegangan dengan Belanda. Para elite Banten menganggap de Houtman egois karena ia berbicara dengan nada merendahkan, menggunakan nada yang merendahkan.
“Capiteijn te veel ghesproken hadde”
Selain itu, pada waktu itu, Portugis memiliki posisi dominan di wilayah Banten, termasuk perbatasan laut. Kedatangan Belanda dianggap sebagai gangguan bagi Portugis, yang telah menjalin hubungan baik dengan kesultanan Banten. Portugis, yang sudah beroperasi di sana, terpaksa menceritakan kisah:
“De Portugesen… seggende dat wy maer verspieders en waren, om de gheleghentheyt van ’t landt te besichtighigh, ende dat wy gheenen sin hadden om coopen…”
Rumor ini menggambarkan bahwa ada hubungan yang sudah ada sebelumnya antara populasi lokal dan Eropa dan bahwa kekuatan Eropa yang baru – Belanda – dianggap sebagai pengaruh yang mengganggu.
Ketika Houtman dan kelompoknya sedang dalam penawanan politik, mereka melaksanakan pengamatan mendetail terhadap masyarakat Sunda dan Houtman serta kelompoknya menjelaskan dan menggambarkan dengan tidak presisi, tetapi mereka membicarakan dengan rinci semua aspek sosial dan proses musyawarah masyarakat Sunda.
Orang Sunda di Mata Bangsa Eropa
Dalam dokumen “De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indie onder Cornelis de Houtman” pengarang mencatat pengamatan masyarakat Sunda yang berdimensi 16, dari pengamatan pelaut dan penulis Belanda pada ekspedisi 1596. Ilustrasi yang dimuat dalam dokumen mencakup masyarakat Sunda dari golongan ningrat dan golongan rakyat biasa. Berikut ringkasannya.
“Dari tihang negeri, golongan ningrat dan pemerintah, dan pejabat tinggi disambut dengan pemerintahan serta sistem yang tersusun rapi dengan musyawarah (raad of vergadering), dimana para bangsawan stasiun senior juga diikut sertakan, bahkan untuk misi yang berkaitan dengan militer. Ada catatan tentang raja dan gubernur yang berduduk di posisi tengah dari majelis serta diberi pengawasan. Para penguasa mendekat dengan milik dan di kota murid dari para penguasa”.
Dalam “De Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman,” tertulis bahwa di pedalaman Sunda, terutama di sekitar Bantam dan kaki Gunung Besar, masyarakat petani yang damai dan rajin hingga kini. Mereka merupakan pendatang baru yang tinggal di Passaruan dan bermigrasi dengan izin dari raja Banten. Mereka digambarkan sebagai masyarakat yang sangat tenang, hidup dari pertanian, dan berkeyakinan sebagai penganut agama Brahmana sebelum Islam datang. Mereka diungkapkan sebagai vegetarian (“eten niet dat leven ghehadt heeft”), hidup hemat, dan secara religius sangat disiplin.
Dalam sumber tersebut juga mengungkapkan bahwa Bangsa Sunda berada pada puncak kehidupan sosial, terutama pada kalangan atas, dengan pola yang cukup istimewa saat berisitirahat, makan, dan mengadakan audiensi dengan rakyat yang lebih rendah atau bawahan. Seorang bangsawan pada umumnya akan menghabiskan waktu sebelum audiensi sore hari dengan istri atau selir yang ditentukan. Dalam kesempatan sidang, para pembesar dengan rendah hati duduk di tanah, tanpa menghilangkan wibawa dari kesederhanaan yang mereka perlihatkan, meskipun seremonial tetap lengkap.
Masyarakat Sunda pun diberi gelar “seer goetvolck” (bangsa yang sangat baik) oleh penulis Belanda. Hal ini mengisyaratkan bahwa penulis Belanda menganggap Sunda sebagai masyarakat yang ramah, damai, dan terorganisir. Walaupun terdapat insiden politik dan konflik kecil (misalnya penahanan Cornelis de Houtman oleh penguasa lokal karena dianggap “terlalu banyak bicara”), Belanda tetap menganggap masyarakat Sunda dengan kekaguman.
- Catalogue reference
- Frederik Muller, De Nederlandsche geschiedenis in platen : beredeneerde beschrijving van Nederlandsche historieplaten, zinneprenten en historische kaarten, 4 delen, F. Muller, Amsterdam 1863-1882, dl. IV (supplement, aanhangsel en algemeen register), p. 96, nr. 1055AI(2)/29.
- FMH 1055-AI(2)/29
- Atlas van Stolk 982
Aditya TW – Eko Hadi (Komunitas Bogor Historia)