Katajurnalis.com
“Koran, koran, koraaaan,” teriakan seorang pria paruh baya terdengar lantang setiap pagi di kawasan perkampungan hingga perumahan. Tas punggung, topi hitam dan tangan kiri menggendong tumpukan koran, menjadi ciri khas pria yang akrab disapa Bung Atew sebagai loper koran.
Eksemplar koran menjadi salah satu ‘menu’ sarapan pagi bagi sebagian kalangan masyarakat era tahun 60an hingga 90an di negeri antah berantah.
Sementara di waktu petang hingga pertengahan malam, suara radio lantang terdengar dari tengah rumah yang menyiarkan beragam informasi. “Anda sedang mendengarkan siaran berita di radio kami,” ucap pria dengan suara beratnya.
Kala itu, suara berat pria dari radio sangat akrab di telinga sebagian besar rakyat antah berantah. Sesekali suara itu terganti oleh alur dongeng drama kolosal yang menggema di tengah rumah.
Selepas petang, sebagian warga lainnya tampak sudah berkumpul di depan televisi berkaca cembung, menanti siaran film drama yang dilanjut dengan siaran berita.
Siaran televisi di masa baru kemunculannya, membuat tua, muda, pria dan wanita rela berjubal untuk menonton. Rumah dengan nuansa klasik bercat putih itu selalu dipenuhi tetangga yang ingin melihat dunia dari layar kaca televisi.
Koran, radio dan televisi di era awal menjadi media massa primadona rakyat antah berantah untuk mendapat asupan informasi faktual. Meski harus merogoh kocek untuk membeli koran serta membayar tambahan listrik untuk radio dan TV, namun rakyat tetap menanti kehadiran tiga sarana media tersebut.
Kini hadir media massa dengan segala kecanggihannya. Semua platform media massa sudah di genggaman tangan. Portal media website berselancar bebas di dunia maya rakyat negeri antah berantah.
Hitungan detik saja, rakyat dengan mudah dan murah bisa mendapatkan informasi dengan cepat dari belahan dunia manapun. Perjalanan koran, radio, televisi hingga portal berita internet tidak lepas dari pelaku penyedianya.
Adalah Wartawan/Jurnalis yang menjadi jantung dari pergerakan sejarah berbagai media massa di negeri antah berantah. Keberadaan Wartawan saat ini menjadi fenomena tersendiri. Nyaris di seluruh pelosok negeri antah berantah, Wartawan/Jurnalis selalu hadir.
Bagi sebagian kalangan, kehadiran oknum Wartawan menjadi momok meresahkan. Tidak sedikit dari oknum kuli tinta yang berperilaku kurang baik saat menjalankan tugasnya. Memposisikan diri layaknya penegak hukum yang berhak menentukan benar atau salah sebuah perkara.
Tidak sedikit pula mereka yang mengaku wartawan tidak didukung dengan kompetensi yang mumpuni sehingga sulit mendapatkan peluang bekerja di media massa mainstream.
Hadir pula oknum Wartawan yang mumpuni dan bekerja di media massa mainstream. Alih-alih memiliki kompetensi dan perangkat yang menunjang, oknum Wartawan ini justru menjadi adigung dan angkuh. Memandang rendah rekan se profesinya yang belum seberuntung dirinya.
Selain eksistensi, awak media kini dihadapkan pada polemik ketika menjalankan tugas antara menjunjung tinggi kode etik dengan kepentingan pemilik perusahaan media massa. Tidak sedikit mereka yang memegang teguh kode etik dan kaidah jurnalisme, harus tersungkur oleh kepentingan sang pemilik.
Berbeda jaman berbeda cara, saat ini oknum wartawan hingga pemilik perusahaan dengan sumringah menerapkan Jurnalisme kuning. Alih-alih sensasional, jurnalisme kuning justru memperkosa substansi sebuah berita dan terjerumus pada pemburukan makna berita. Ingin laris manis tapi tidak beretika, membuat jurnalisme kuning kerap dituding tidak profesional.
Tidak sedikit keberadaan perusahaan media massa digunakan untuk alat propaganda. Demi kepentingan politik hingga kapitalis, oknum insan pers kini dipaksa berlutut tidak berkutik menyajikan berita ‘pesanan’.
kehadiran media sosial turut menjadi tantangan bagi insan pers berlomba memberikan informasi kepada masyarakat. Perusahaan media massa enggan tertinggal absen hingga terkadang melupakan kode etik.
Sedianya, kehadiran seorang insan pers menjadi pelipur lara dari sebuah kecemasan dan kegundahan aspirasi rakyat. Sedianya, Jurnalis hadir menyajikan berita untuk mereka yang tidak bisa membaca, tidak bisa menulis dan tidak bisa mendengar.
Dan pada akhirnya semua itu tidak lain bermuara pada satu tempat yakni perut !!!
“Saya lebih takut menghadapi pena Jurnalis daripada seribu bayonet musuh,” Napoleon Bonaparte
Aditya TW