Kata Budaya

Dari Galuh ke Pakuan: Jejak Pemindahan Pusat Kekuasaan Sunda dalam Naskah Kuno

×

Dari Galuh ke Pakuan: Jejak Pemindahan Pusat Kekuasaan Sunda dalam Naskah Kuno

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi proses pemindahan ibukota sekaligus pusat pemerintahan kerajaan Pajajran dari Galuh (Ciamis) ke Pakwan (Bogor)

katajurnalis.com.

Di balik hijaunya perbukitan Pakuan, tersimpan jejak penting dalam sejarah politik dan spiritual Kerajaan Sunda. Sebuah fragmen naskah kuno, Carita Parahyangan, mengungkap bagaimana Maharaja Trarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh ke Pakuan, dalam sebuah proses yang bukan sekadar geografis, tetapi juga sarat makna ritual dan administratif.

Peristiwa ini tercatat dalam Fragmen C dari naskah Carita Parahyangan yang tersimpan dalam Kropak 406—sebuah manuskrip berisi 47 lempir daun nipah, dengan 13 lempir memuat Fragmen Carita Parahyangan (FCP) dan 35 lempir sisanya berisi teks utama Carita Parahyangan (CP).

Transliterasi dan kajian atas naskah ini dilakukan oleh Darsa & Ekadjati (2003), yang menjadi rujukan utama dalam memahami dinamika kekuasaan Sunda abad pertengahan.

Salah satu kutipan penting berbunyi:

“Trarusbawa … memindahkan lokasi keraton Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati dari Rancamaya ke sebuah perbukitan … Sejak itu, Pakuan menjadi pusat pemerintahan.”
(Darsa & Ekadjati 2003, Fragmen C)

Pemindahan ini bukan hanya soal lokasi. Ia menandai reorganisasi kekuasaan, penunjukan penguasa lokal (pong), serta pengaturan upeti tahunan dari wilayah-wilayah bawahan. Dalam konteks Sunda kuno, perpindahan keraton juga berarti pergeseran pusat spiritual dan simbolik kerajaan.

Baca Juga  Hari Santri, Nasionalisme dan Moderasi dari Pondok

Menariknya, proses serupa juga dilakukan oleh Rakeyan Darmasiksa, yang disebut dalam bagian lain naskah:

“Memeh angkat ka Pakwa(n) … Ti inya angkat sabumi ka Pakwan. Datang ka Pakwan mangadeg di kadaton Sri ‘Bima Punta Narayana Madura Suradipati’.”
(Darsa & Ekadjati 2003, Fragmen C)

Kutipan ini menunjukkan kesinambungan simbolik antara pemimpin Sunda, di mana Pakuan menjadi titik sentral dalam narasi kekuasaan dan spiritualitas kerajaan.

Dengan latar naskah yang berasal dari lontar-daun nipah, Kropak 406 bukan hanya menyimpan teks, tetapi juga menjadi artefak budaya yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan, ritual, dan geografi saling terkait dalam sejarah Sunda.

Pemindahan keraton ke Pakuan adalah bukti bahwa topografi bukan sekadar lanskap, melainkan bagian dari strategi dan simbolisme kekuasaan.

Feature ini disusun berdasarkan transliterasi dan kajian Darsa & Ekadjati (2003) atas Kropak 406, sebagai bagian dari upaya pelestarian dan pemaknaan ulang sejarah lokal.

Eko Hadi (Komunitas Bogor Historia)